itoday.id | JAKARTA . Akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Marinus Yaung sepakat dengan penghapusan aturan terkait partai politik lokal di Pasal 28 dalam perubahan kedua Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Saya pikir itu adalah hal yang wajar saja karena pasalnya multitafsir,” kata Marinus
Dalam perubahan kedua UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, ayat (1) dan ayat (2) Pasal 28 terkait partai politik lokal dihapuskan.
Ayat (1) Pasal 28 UU Otsus Papua menyebutkan penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Kemudian, dalam ayat (2) disebutkan tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Marinus, politisi lokal Papua menafsirkan Pasal 28 UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebagai pemberi jaminan bahwa mereka (para elit politik lokal) akan memperoleh kursi pada jabatan-jabatan politis di pemerintahan.
Akan tetapi, pada praktiknya, memperoleh kursi pada jabatan-jabatan tersebut tidaklah mudah, kata Marinus melanjutkan. Hal ini menyebabkan kegagalan elit-elit politik lokal di Papua untuk mendapatkan kursi jabatan ketika mengandalkan partai lokal.
Kegagalan tersebut lantas mendorong para elit politik lokal untuk mengajukan tuntutan berdasarkan tafsiran mereka terkait Pasal 28 UU Otsus Papua, kata Marinus menambahkan.
“Memang pasal itu seringkali menimbulkan persoalan di lapangan,” ujar dosen Universitas Cenderawasih tersebut.
Selanjutnya, ayat (3) dalam Pasal 28 UU Otsus Papua menyebutkan rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua, dan ayat terakhir, yaitu ayat (4), menyebutkan partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.
Penghapusan ayat (1) dan (2) di Pasal 28 dalam perubahan kedua UU Otsus Papua juga berlandaskan pada putusan MK Nomor. 41/PUU-XVII/2019, tentang Pendirian Partai Lokal di Provinsi Papua.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan untuk menghapus ayat (1) dan (2) pada Pasal 28 UU Otsus Papua.
Di sisi lain, Marinus berpendapat bahwa penghapusan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut juga merupakan upaya pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan partai lokal oleh oknum-oknum yang mengancam kedaulatan negara.
“Itu (penyalahgunaan partai lokal) dapat mengganggu kepentingan negara di Papua, maka dihapuslah pasal di undang-undang tentang pendirian partai politik lokal Papua,” kata Marinus menjelaskan.
Selain itu, Marinus juga mengangkat poin mengenai lemahnya dasar hukum pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Otsus Papua. Berbeda dengan Aceh yang memiliki Kesepakatan Helsinki Tahun 2005 sebagai dasar pembentukan partai politik lokal, Papua tidak memiliki dasar hukum tersebut dan bergantung pada aturan nasional yang ditetapkan oleh negara.
Dalam pelaksanaannya pun, menurut Marinus, ayat (1) dan (2) dalam Pasal 28 UU Otsus Papua tidak efektif untuk meningkatkan keterwakilan Orang Asli Papua (OAP) di kursi pemerintahan Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Hal ini dapat dilihat dari dominasi politisi non-Papua di beberapa daerah, seperti di Kota Jayapura dari 40 kursi, OAP sebanyak 13 orang, Kabupaten Jayapura dari 25 kursi diisi 7 OAP, Kabupaten Keerom dari 23 kursi diisi 7 OAP), dan Kabupaten Merauke dari 30 kursi diisi 3 OAP.
“Daripada memberikan harapan, memang sebaiknya dihapuskan saja,” kata Marinus menambahkan.
Marinus menambahkan, adanya perubahan nomenklatur dari DPRD menjadi DPRK, dan penambahan unsur keanggotaan DPRK dari OAP merupakan solusi yang ditawarkan oleh pemerintah untuk menjamin keterwakilan OAP dalam jajaran kepemerintahan setelah penghapusan kedua ayat tersebut.
Oleh karena itu, meskipun pemerintah merevisi Pasal 28 UU Otsus Papua dan menghilangkan dua ayat mengenai partai politik lokal, aspirasi dan partisipasi OAP masih dapat disalurkan melalui jaminan keterwakilan di DPRK. Adapun komposisi OAP yang akan mengisi jajaran tersebut adalah seperempat dari jumlah DPRK yang dipilih dari Pemilu dengan minimal 30 persen unsur perempuan OAP.(*)